Mie Instan ; Kandungan dan Risiko Mengonsumsinya

Mie instan
Mie instan

Bertempat di Jepang setelah kalah dalam Perang Dunia II, mie instan yang pertama kali ditemukan oleh Momofuku Ando menjadi industri yang populer. Proses dasar ‘mie Asia’ atau ‘ramen ajaib’ ini terdiri dari dehidrasi mie yang dikukus dan dibumbui dengan minyak. Dengan umur simpannya yang panjang dan sifat siap saji yang ditawarkannya, makanan yang kemudian populer ini menjadi makanan paling banyak di Asia.1 Konsumsi mie instan sebagai sumber makanan pokok meningkat di banyak negara Asia, yaitu 80% konsumsi di seluruh dunia dan Indonesia menempati urutan kedua jumlah per kapita dalam konsumsi mie instan di seluruh dunia.1,2Rupanya, konsumsi mie sekarang menjadi bagian integral dari Diet Indonesia dan menarik bagi masyarakat semua kelas pendapatan. Survei Kesehatan Nasional yang dilakukan di Indonesia menemukan bahwa 10,1% orang berusia di atas 10 tahun mengkonsumsi mie instan setiap hari dan 51%, 49,5% dan 48% anak-anak berusia 10-14 tahun, 15-19 tahun dan dewasa muda berusia 20-24 tahun mengonsumsi mie instan atau segar setidaknya 3-6 kali per minggu.3 Fakta ini menarik karena meningkatkan risiko penyakit tidak menular di sebagian besar populasi, khususnya di Indonesia.

PayTren – Teman Setia Bayar Bayar !

KANDUNGAN MIE INSTAN

Bahan utama mie instan adalah tepung terigu, garam, atau kansui (campuran garam alkali natrium karbonat, kalium karbonat dan natrium fosfat) dan air. Bahan lain seperti pati, gusi, zat pengemulsi, zat penstabil, antioksidan, pewarna, dan zat penyedot juga ditambahkan untuk memperbaiki tekstur, kualitas makan, dan umur simpan mi instan. Saat ini, mi instan juga diperkaya dengan protein, mineral, dan vitamin untuk meningkatkan nilai nutrisinya.3

Polifosfat, hidrokoloid, zat pengemulsi, antioksidan, dan pati biasanya digunakan sebagai aditif untuk meningkatkan kualitas produk dalam pengolahan mi. Mi instan yang dikukus dan digoreng memiliki kandungan lemak tinggi 15-22%, dan zat anti oksidatif merupakan faktor utama yang membatasi umur simpan. Antioksidan seperti butydated hydroxyanisole (BHA),butylated hydroxytoluene (BHT), propyl gallate (PG), dan tersier-butylhydroquinone(TBHQ) banyak digunakan untuk mengatasi masalah kekasaran pada produk jadi.3Kandungan ini memperpanjang umur simpan makanan dan menunda onset aroma tengik pada makanan. Jumlah TBHQ yang diizinkan oleh FDA adalah sampai 0,02% dari total minyak dalam makanan. Terdengar sedikit, namun segala sesuatu yang berasal dari butana, tidak peduli seberapa kecil dosisnya, hampir tidak bisa diklasifikasikan sebagai aman. Dosis tinggi (sekitar 1 dan 4 g) TBHQ dapat menyebabkan penyakit, ketidakseimbangan, kejadian jatuh, tinitus (dering di telinga) dan muntah dan memperparah keadaan hiperaktif pada penderita ADHD, asma, rhinitis dan dermatitis. Pada jangka panjang, dosis tinggi TBHQ dalam penelitian dengan menggunakan model hewan menyebabkan kerusakan DNA, menujukan peningkatan risiko keganasan di dalam perut dan mempengaruhi kadar estrogen pada wanita.4

PayTren – Teman Setia Bayar Bayar !

FORTIFIKASI

Mi instan diperkaya dengan fortifikasi tepung yang digunakan untuk membuat mi dengan menambahkan gluten, tepung lain seperti kedelai, soba, tepung gandum dan kacang polong, atau dengan memperkuat bumbu dikonsumsi bersama dengan mi. Kalsium karbonat dan gluten juga ditambahkan untuk meningkatkan kandungan gizi mi instan. Fortifikasi mi instan dengan vitamin A, B1, B2, niasin, B6, asam folat, zat besi, dan kasein (protein susu) dimulai pada tahun 1994 di Indonesia. Namun, fortifikasi tidak diamanatkan oleh peraturan pemerintah. Penelitian Spohrer dkk mengenai fortifikasi mikronutrien pada mi instan di Indonesia menunjukan bahwa mi instan yang diperkaya dengan fumarat besi pada dengan nilai baku 50 ppm zat besi dapat menghasilkan 2,8-3,2 mg zat besi, dengan asumsi kehilangan 0-5% dari pengolahan, penyimpanan, dan memasak dengan bioavailabilitas 10% dapat memberikan 45-51% RNI (recommended nutrient intakes) besi harian untuk anak usia 4-6 tahun, 10- 11% untuk wanita usia subur, dan 6% untuk wanita hamil. Fortifikasi tepung terigu adalah praktik yang diterima dengan baik secara global untuk mengurangi risiko anemia yang disebabkan oleh defisiensi gizi dan cacat tabung saraf yang disebabkan oleh asam folat yang tidak sesuai. Spohrer dkk menyimpulkan bahwa berdasarkan konsumsi mi instan yang meluas, terutama pada populasi sosial ekonomi yang lebih rendah, fortifikasi makanan olahan yang umum dikonsumsi seperti mi instan “dapat menjadi strategi yang semakin penting untuk memperbaiki penyampaian nutrisi mikronutrien”.3

Image result for MIE INSTAN DAN PENYAKIT METABOLIK

PayTren – Teman Setia Bayar Bayar !

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa kepadatan energi yang tinggi, beban glikemik (karena karbohidrat olahan), kandungan lemak jenuh, dan kandungan natrium mi instan, dapat menyebabkan peningkatan faktor risiko kardiometabolik. Konsumsi mi instan dikaitkan dengan peningkatan prevalensi obesitas perut dan hiperglikemia, apalagi pada wanita.4 Periset di Harvard University melaporkan risiko sindrom metabolik 68% lebih tinggi pada wanita yang mengkonsumsi mi instan ≥ dua kali / minggu [1], namun tidak pada pria. Perbedaan gender ini mungkin diakibatkan oleh perbedaan komposisi kelompok makanan dalam pola asupan makanan antara laki-laki dan perempuan. Peneliti sebelumnya menyatakan bahwa adanya kemungkinan interaksi antara bisphenol A dan reseptor estrogen. Bisphenol A dikenal sebagai modulator selektif reseptor estrogen yang dapat mempercepat adipogenesis.4,5

Hal tersebut juga didukung oleh penelitian Suhaema dan Masthalina (2013) dalam menentukan konsumsi mie instan dengan sindroma metabolik yang menemukan bahwa 34,5% yang mengonsumi mie instan tergolong dalam obesitas sentral (lingkar perut) ≥ 80 centimeter untuk perempuan dan ≥ 90 centimeter untuk laki-laki). Terdapat 22% responden dengan tekanan darah ≥ 130/85 mmHg, 37,9% memiliki kadar glukosa darah puasa ≥ 110 mg/dL, 28,1% dengan kadar trigliserida darah ≥ 150 mg/dL serta 39,4% memiliki kadar HDL yang rendah (< 40 mg/dL bagi laki-laki dan < 50 mg/dL bagi perempuan). Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa prevalensi sindrom metabolik pada usia produktif sejumlah 23%. Hasil analisis statistik menggunakan uji chi square memperoleh nilai probabilitas sebesar 0,001 dengan odds ratio (OR) = 1,622, artinya terdapat hubungan signilkan antara jenis kelamin dengan kejadian sindrom metabolik, perempuan memiliki risiko 1,622 kali mengalami sindrom metabolik dibandingkan dengan laki-laki.6

Pada sebuah penelitian yang mengkaji hubungan positif antara frekuensi konsumsi mi instan dan kadar trigliserida plasma, tekanan darah diastolik, dan kadar glukosa darah puasa pada mahasiswa Korea, ditemukan bahwa subjek studi dengan frekuensi konsumsi mi instan lebih tinggi cenderung memiliki beberapa faktor risiko kardiometabolik. OR untuk hipertrigliseridemia secara signifikan lebih tinggi pada kelompok yang mengkonsumsi mi instan ≥ 3 kali / minggu dibandingkan kelompok dengan frekuensi konsumsi terendah (≤ 1 kali / bulan). Hubungan ini berlaku pada siswa laki-laki dan perempuan, dan juga pada subjek gabungan.7

PayTren – Teman Setia Bayar Bayar !

MIE INSTAN SEBAGAI TANTANGAN DALAM MENGURANGI SODIUM

Kebutuhan fisiologis garam pada manusia adalah kurang dari 1 gram per hari, namun, kebanyakan populasi makan antara 9 dan 12 gram. Kelebihan asupan garam secara progresif meningkatkan tingkat tekanan darah sepanjang hidup, yang sangat meningkatkan risiko penyakit vaskular dan bertanggung jawab atas sekitar setengah dari beban penyakit yang dianggap berasal dari tekanan darah tinggi.3 Hal ini disadari oleh WHO dengan mengeluarkan rekomendasi asupan garam sebesar 2 g/hari. Mie instan di negara berpendapatan menengah memiliki kandungan natrium rata-rata yang lebih tinggi secara signifikan dibandingkan dengan negara-negara berpenghasilan tinggi. Indonesia memiliki nilai rata-rata kadar natrium dalam kemasan sekitar 1916 mg / 100 g (berkisar antara 770-7584 mg / 100g ) dibandingkan dengan Selandia Baru dengan kadar 798 mg / 100 g (berkisar antara 249-2380 mg / 100g).2

Diet tinggi natrium dikaitkan dengan peningkatan kortisol urin dan metabolitnya. Selain itu, diet tinggi natrium juga dikaitkan dengan peningkatan temuan hipertensi, resistensi insulin, dislipidemia dan hipoadiponektinaemia, bahkan saat telah disesuaikan dengan variabel perancu. Penelitian oleh Baudrand et al (2013) juga memperlihatkan bahwa bahwa asupan garam tinggi, resistensi insulin dan metabolit kortisol yang lebih tinggi, jika digabungkan dan sebagai faktor independen dalam model klinis sederhana, akurat dalam memprediksi status sindrom metabolik.8

Benar bahwa dalam rutinitas sehari-hari, perlu untuk mengonsumsi makanan yang dapat memberi energi yang dibutuhkan dalam waktu kurang dengan rasa yang maksimal. Fortifikasi dapat membantu mi instan untuk membawa beberapa nutrisi pada individu, namun risiko yang ditawarkan tidak kalah besarnya. Dibutuhkan edukasi dan advokasi lebih masif dalam mengenalkan keadaan ini sebagai isu kesehatan yang penting bagi masyarakat, khususnya di Indonesia.

REFERENSI:

  1. World Instant Noodles Association. History of Instant Noodles. Japan: WINA; 2017. Available from: http://instantnoodles.org/en/noodles/index.html
  2. Farrand C, Charlton K, Crino M, Santos J, et al. Know Your Noodles! Assessing Variations in Sodium Content of Instant Noodles across Countries. MDPI Nutrients. 2017 Jun; (9) 612-22
  3. Bronder KL, Zimmerman SL, Wijngaart A, Codling K. Instant noodles made with fortified wheat flour to improve micronutrient intake in Asia: a review of simulation, nutrient retention and sensory studies. Asia Pac J Clin Nutr.2017;26(2):191-201
  4. Sikander M, Malik A, Khan MS. Instant Noodles: Are they Really Good for Health? A Review.Electronic J Biol, 2017; 13:3.
  5. Gulia N, Dhaka V, Khatkar BS. Instant Noodles: Processing, Quality, and Nutritional Aspects. Critical Reviews in Food Science and Nutrition. 2014; 54:1386-1399
  6. Suhaema, Masthalina H. Consumption Patterns with Occurrence of Metabolic Syndrome.Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional. 2015(9): 1-10
  7. Yeon JY, Bae YJ. Association of instant noodle intake with metabolic factors in Korea: Based on 2013~2014 Korean National Health and Nutrition Examination Survey. J Nutr Health. 2016; 49(4): 247-257
  8. R Baudarad, Campino C, Carvajal CA, Olivieri O. High sodium intake is associated with increased glucocorticoid production, insulin resistance and metabolic syndrome.Clinical Endocrinology.2014;80: 677–684

Komentar Anda