Bisnis Rumah Sakit di Kala Pandemi

Bisnis rumah sakit menjadi sektor strategis yang harus dipertahankan keberlangsungannya demi upaya menjaga kesehatan masyarakat dalam suatu negara. Agak sedikit dilematis dimana aspek sosial harus diutamakan akan tetapi di sisi lain aspek bisnis yang murni berorientasi keuntungan tidak bisa dihindari demi keberlangsungan suatu rumah sakit. Secara umum industri rumah sakit, farmasi, dan laboratorium diagnostik bergerak di bidang kesehatan, namun jika kita melihat secara terperinci industri tersebut memiliki perbedaan dalam mendapatkan pendapatan operasional. Rumah sakit mirip dengan bisnis persewaan properti seperti hotel, villa, apartemen dengan tambahan layanan perawatan orang sakit. Laboratorium diagnostik hanya menjual layanan pengecekan kesehatan dan diagnosis suatu penyakit, sedangkan farmasi sama halnya industri manufaktur yang mengubah barang jadi atau setengah jadi menjadi barang jadi (obat dan suplemen kesehatan) yang siap dikonsumsi masyarakat.

Data profil kesehatan Indonesia 2018 menunjukan rasio tempat tidur rumah sakit ada di angka 1,17 : 1.000, jauh dari standar WHO di mana idealnya memiliki rasio 5 : 1.000 atau terdapat 5 tempat tidur tiap 1.000 penduduk. Ketimpangan angka ini membutuhkan keterlibatan pihak swasta dalam upaya pemenuhan angka tempat tidur rumah sakit. Di Indonesia banyak sekali berdiri rumah sakit swasta baik yang tergabung dalam konglomerasi usaha skala nasional atau dimiliki oleh sekumpulan pengusaha di daerah tertentu. Sebut saja Siloam Hospital yang merupakan rumah sakit di bawah naungan Lippo Group dan memiliki ekosistem kesehatan terintegrasi dan merek yang sudah terkenal di kalangan masyarakat menengah ke atas.

Pandemi Covid-19, benarkah rumah sakit diuntungkan ?

Munculnya pandemi covid-19 merubah outlook berbagai sektor industri tak terkecuali rumah sakit. Pada masa awal pandemi, ahli di bidang kesehatan belum memiliki panduan yang dijadikan protokol standar dalam menangani wabah yang menyebar begitu cepatnya di berbagai wilayah. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia mengeluarkan himbauan kepada seluruh rumah sakit untuk membatasi pelayanan dengan menunda pelayanan yang bersifat elektif dan hanya memberikan pelayanan yang hanya bersifat darurat saja. Beberapa saat kemudian Ikatan Dokter Indonesia, Kolegium Dokter Spesialis Indonesia, dan berbagai organisasi profesi kesehatan lain juga mengeluarkan himbauan serupa yang menyebabkan layanan kesehatan terhambat dan kunjungan masyarakat di rumah sakit menjadi menurun drastis sehingga berimplikasi pada penurunan pendapatan dan mengganggu kesehatan keuangan rumah sakit.

Praktis hanya rumah sakit yang berasal dari perusahaan terbuka dalam bentuk perseroan terbatas (PT) dan dibagian belakang nama perusahaan terdapat kode -Tbk (terbuka) yang dapat dianalisis kinerja operasional dengan alasan perusahaan bersangkutan diwajibkan menerbitkan keterbukaan informasi berkala dalam bentuk laporan keuangan tiap kuartal (3 bulan), laporan akhir tahun, dan public expose yang minimal diselenggarakan minimal satu kali dalam setahun. Sepanjang tahun 2020 rata – rata kenaikan pendapatan rumah sakit mengalami penurunan di kuartal III (65%) dan kuartal IV (50%) atau boleh dikatakan mengalami perlambatan. Memasuki tahun 2021 rata – rata kenaikan pendapatan di kuartal II tercatat sebesar 115% lebih besar jika dibandingkan periode sama di tahun 2020 sebesar 73% dan menjadi kenaikan terbesar dari periode – periode sebelumnya di tahun 2020.

Secara umum pendapatan rumah sakit berasal dari 2 sumber utama, yaitu layanan rawat inap dan rawat jalan. Komponen pendapatan terdiri dari biaya obat dan perlengkapan medis, layanan penunjang medis, jasa tenaga ahli, serta ditambah biaya kamar rawat inap, operasi, dan bersalin untuk layanan rawat inap. Melihat layanan rawat inap yang lebih kompleks, maka uang yang dibelanjakan konsumen (pasien) semakin banyak sehingga pada akhirnya pendapatan rawat inap lebih tinggi dari rawat jalan. Sebagai contoh dari laporan keuangan kuartal II/2021 PT. Mitra Keluarga Karyasehat, Tbk (MIKA) pengelola RS Mitra Keluarga mencatatkan pendapatan rawat inap sebesar Rp 1,6 triliun dibanding rawat jalan Rp 799,8 miliar.

Selama pandemi menyerang ketika berkunjung ke rumah sakit nampak para petugas medis menggunakan tambahan alat pelindung diri sebagai proteksi untuk menghambat penyebaran virus corona, selain itu kebutuhan produk higienitas (alkohol, handsanitizer) meningkat, sehingga lebih konservatif jika beranggapan biaya operasional rata – rata rumah sakit meningkat. Seperti yang dialami Siloam Hospital, mengambil materi public expose perseroan mencatatkan biaya material sebesar > 40% di bulan Februari 2020 (sebelumnya <40%) dan berlanjut sampai pertengahan kuartal IV/2020, di mana biaya material tersebut naik akibat adanya keperluan pengadaan APD. Tanpa adanya kenaikan biaya operasional dengan pertumbuhan pendapatan yang melambat secara otomatis mengurangi marjin laba operasional (OPM), apalagi jika biaya meningkat tentu saja akan lebih menggerus marjin dan berimbas keuangan rumah sakit mengalami gangguan. Rata – rata OPM sebesar 10,02 % di kuartal I/2020 menurun di kuartal II/2020 menjadi single digit 3,25% berlanjut sampai akhir tahun dan mulai meningkat kembali (turn arround) awal tahun 2021 bahkan mencatatkan marjin double digit lebih tinggi dibandingkan awal 2020.

Laba/rugi bersih berasal dari pendapatan dikurangi biaya pendapatan, biaya operasional, biaya lain – lain dan pajak penghasilan (PPh) badan sebesar 20%. Dari tabel di atas nampak Mitra Keluarga (MIKA), Medikaloka Hermina (HEAL), dan Royal Prima (PRIM) menjadi perusahaan yang paling konsisten mencetak laba bersih dan memang MIKA adalah satu – satunya emiten RS dengan riwayat kinerja terbaik yang listing di Bursa Efek Indonesia, sedangkan HEAL dan PRIM baru listing tahun 2018. Emiten rumah sakit lain memang masih sering merugi sejak sebelum pandemi dengan melihat annual repport dan munculnya corona ternyata memperbesar nilai rugi bersih di sepanjang tahun 2020. Memasuki kuartal I/2021 terjadi perubahan drastis di mana semua perusahaan pengelola RS mencatat laba bersih dan laba bersih tumbuh secara signifikan di kuartal berikutnya.

Berkah Covid-19 bagi layanan penunjang medis

Layanan penunjang medis meliputi pemeriksaan laboratorium (darah, urin, feses, jaringan tubuh) dan pencitraan (X-Ray dan MRI) dengan tujuan skrining atau penegakan diagnostik suatu penyakit. Dalam melakukan skrining dan diagnosis Covid-19 membutuhkan pemeriksaan penunjang medis menggunakan swab jaringan di rongga hidung/tenggorokan pasien. Kebutuhan layanan penunjang tersebut meningkat seiring diberlakukannya kebijakan syarat bepergian menggunakan hasil negatif swab antigen atau PCR. Dari sini cukup menjawab, alasan rumah sakit membukukan laba bersih yang signifikan di tahun 2021, bahkan Sarana Meditama Metropolitan (SAME) pengelola jaringan Omni Hospitals yang notabene sering merugipun sanggup membukukan laba Rp 98,6 miliar di kuartal II/2021 dari rugi bersih Rp 449,5 miliar sepanjang 2020. Laporan keuangan kuartal II/2021 SAME membukukan pendapatan jasa penunjang medis sebesar Rp 210,24 miliar lebih besar dari periode sama tahun sebelumnya sebesar Rp 112,36 miliar.

PT Prodia Widyahusada, Tbk (PRDA) pengelola jaringan laboratorium klinik Prodia juga ikut ketiban durian jatuh, sepanjang tahun 2020 mencatat laba bersih sebesar Rp 268,7 miliar dan di kuartal II/2021 sebesar Rp 301 miliar jika disetahunkan menjadi Rp 602 miliar (2x Rp 301 miliar), artinya laba bersih tahun 2021 diproyeksikan naik 2 kali lipat dari tahun yang lalu. Pemerintah sudah menetapkan batas atas biaya pemeriksaan swab antigen dan PCR, apakah kinerja tersebut akan berlanjut sampai tahun depan atau setidaknya akhir tahun ini?  Cuma waktu yang bisa menjawabnya.

Bagaiamana sobat cuan? Apakah tertarik menanamkan investasi di emiten rumah sakit?

Sumber Data

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia

Bursa Efek Indonesia

PT Indopremier Sekuritas

PT Sucor Sekuritas

Komentar Anda