“Pemerintah akan terus berupaya menjaga kepentingan nasional dengan mendorong berkembangnya aplikasi buatan lokal,” hal tersebut diucapkan oleh Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Rudiantara dalam sebuah diskusi di Museum Perumusan Naskah Proklamasi Jakarta pada Selasa, 29 Agustus 2017.
Menteri yang sempat menjabat sebagai Komisaris Independen Indosat tersebut melihat masyarakat cenderung menggunakan aplikasi buatan developer luar negeri. Meskipun tidak bisa dihindari, beliau berpendapat bahwa hal tersebut bisa diubah dengan berbagai cara, salah satunya dengan melibatkan pakar untuk mencermati perilaku pengguna aplikasi digital di Indonesia.
“Kita perlu mendefinisikan ulang kedaulatan digital itu seperti apa. Karena kedaulatan di media maya berbeda dengan yang lain,” ucap Rudiantara. “Karena teknologi digital sudah global, jadi pola pikir kedaulatan ini yang harus kita rumuskan. Dalam merumuskan kedaulatan, kita tidak boleh menganut chauvinisme dalam dunia digital,” ungkap Rudiantara.
Ingat bayar – bayar, ingat PayTren !!!
Aktif dukung startup lokal
Menkominfo menambahkan bahwa di samping sebagai pihak regulator, Kementerian Komunikasi dan Informatika juga punya peran mendorong tumbuh kembang aplikasi lokal dengan memanfaatkan sumber daya yang dimiliki pemerintah. “Kita mungkin bisa mengajak psikolog untuk melihat perilaku sosial masyarakat kita yang lebih suka pakai aplikasi asing. Padahal aplikasi buatan kita sendiri juga banyak.”
Peran “fasilitator dan akselerator” yang dijabarkan Menkominfo telah dilakoni lewat dukungan program yang dinilai bisa membantu ekosistem pembuat aplikasi mobile dalam negeri. Beberapa dukungan tersebut antara lain pelaksaanaan program di Balai Pelatihan dan Pengembangan Teknologi Informasi dan Komunikasi (BPPTIK), Gerakan 1.000 Startup Digital Indonesia, dan lain-lain.
Ingat bayar – bayar, ingat PayTren !!!
Peluang di bidang pendidikan dan kesehatan
Selain pendapat tentang perubahan pola pikir pengguna aplikasi di Indonesia, Rudiantara juga mendorong para pendiri startup untuk fokus kepada dua bidang, yaitu pendidikan dan kesehatan. Menurutnya, kedua sektor tersebut mempunyai peluang yang cukup potensial di Indonesia. “Jika kamu membuat aplikasi, fokus ke pendidikan dan kesehatan, Rp500 triliun uang meluncur ke dua bidang tersebut.” terang Rudiantara.
Ia memberikan gambaran bahwa pemerintah sendiri mengalirkan APBN yang cukup besar untuk kedua bidang itu. Untuk di bidang kesehatan saja, sedikitnya lima persen APBN dibelanjakan demi mengakomodasi kebutuhan di sana.
Peluang startup di bidang pendidikan juga menyimpan potensi yang demikian besar untuk digali. Menurut salah satu pelaku bisnis e-learning Indonesia, SquLine, pasar di Indonesia diprediksi bisa berkembang hingga mencapai nilai triliunan rupiah dalam beberapa tahun ke depan.
Meski terlihat potensial, pengembangan di sektor pendidikan terlihat kurang begitu gemerlap dibandingkan beberapa sektor lain seperti leisure, e-commerce, dan fintech. Walaupun belum terlalu ramai, situasi inilah yang kemudian dimanfaatkan para startup di bidang pendidikan, seperti Ruangguru, Squline, HarukaEdu, LesGO, dan lainnya.